Sunday, May 31, 2020

Memahami Gagasan Pendidikan Finlandia dari Ahlinya



Pendidikan yang bagus bukan meniru Finlandia, tapi belajar dari Finlandia

Di Kota Newyork tahun 2012, seorang pria berkebangsaan Finlandia mempresentasikan apa yang menjadi pengamatannya terhadap masalah pendidikan yang mengglobal, dan uniknya itu tidak terjadi di negaranya, Finlandia. Penulis hanya mengulas apa yang disajikan sosok bernama Pasi Sahlberg dalam presentasinya di acara TED Talk, dengan berbagai tambahan informasi yang menurut penulis penting untuk diketahui. Videonya sendiri dapat dikunjungi di link https://youtu.be/TdgS--9Zg_0
Kembali ke Finlandia. Negara ini dikenal sebagai Negara Nordik yang memiliki kualitas pendidikan yang sangat bagus, hal itu lantaran mereka menempati posisi teratas dalam tes internasional PISA. Bahkan sebagai catatan, masyarakat Finlandia pun konon tidak menyangka tentang apa yang diraih mereka dalam ajang yang bergengsi tersebut. Bergengsi yang dimaksud penulis karena mendapatkan posisi atas dalam bidang pendidikan mengalahkan berbagai Negara di seluruh dunia adalah sesuatu yang patut diacungi jempol. Tetapi sebagai ahli pendidikan Finlandia, Pasi Sahlberg mengatakan bahwa mereka tidak pernah ingin menjadi nomor satu. Menurutnya, di Finlandia mereka menerapkan prinsip itu dengan berupaya memiliki sekolah umum yang baik untuk semua orang, semua anak-anak, sebelum mencoba untuk mengalahkan siapapun.
Untuk mewujudkan cita-cita sekolah bagus untuk semua, tidak salah jika Finlandia belajar dari Negara lain, seperti Amerika. Menurut penjelasan Sahlberg, Amerika menjadi inspirasi besar bagi negaranya, mulai dari sistem pendidikan, institusi, dan praktisi penelitian. Meski demikian, Amerika sendiri masih mengalami berbagai masalah pendidikan yang belum tuntas. Dengan kata lain, contoh yang bagus dari pendidikan Amerika lah yang menjadi bahan belajar Finlandia sehingga mampu menjadi terbaik seperti sekarang.
Mereka terbuka untuk belajar tentang permasalahan pendidikan, mengutamakan kebijakan berbasis riset dengan melibatkan para guru dan pihak yang terkait. Hal yang demikian tidak banyak terjadi di Negara kita.
Menyadari bahwa guru adalah ujung tombak pendidikan, Finlandia menempatkan kualitas guru sebagai  prioritas. Guru diseleksi dengan ketat, memiliki digaji dengan baik, memiliki pendidikan tinggi, memiliki otonomi di sekolahnya. Bahkan soal diseleksi dengan ketat, dari dilansir detik.com yang saya baca, lebih mudah bagi pendaftar kuliah di Universitas Helsinki Finlandia untuk menjadi pengacara, dokter ketimbang menjadi guru. Menjadi guru adalah profesi terseleksi dengan baik. Dan soal otonomi? Jika di Indonesia baru-baru ini guru diberi kebijakan atas otonomi kepada guru baik mengenai RPP hingga evaluasi, di Finlandia hal tersebut sudah dilaksanakan.

Kisah Keponakan yang Gagal Seleksi Menjadi Mahasiswa Pendidikan

Pasi Sahlberg memiliki kisah menarik yang menggambarkan ketatnya pendaftaran calon mahasiswa keguruan. Bahkan kisah ini sering ia bawa dalam berbagai presentasi sebagai contoh mudah memahami ketatnya seleksi menjadi guru di Finlandia.
Mudah bagi kita mengingat banyak permasalahan tentang guru di negeri kita sendiri. Mulai dari kualitas guru itu sendiri, motivasi menjadi guru, gaji mereka (penulis juga seorang guru), dan respek sosial yang didapat guru. Menurut penulis, apa yang Finlandia lakukan layak untuk dipelajari.
Sebelum mendaftar di Universitas Helsinki, Sang keponakan bertanya kepada Sahlberg tentang apa yang harus dia lakukan. Sahlberg yang mengenal keponakannya sebagai multitalenta dan cukup berprestasi di sekolahnya tentu saja menyuruhnya mendaftar dengan yakin.
Tiga bulan setelah itu sang keponakan mendatangi Sahlberg dengan mata berkaca-kaca. Karena ia gagal masuk. Kok gagal? Ternyata dugaan kuat sang keponakan gagal di sesi wawancara. Saat diwawancarai tentang motivasinya menjadi guru, keponakannya hanya menjawab bahwa keluarganya kebanyakan adalah guru, dan dia suka anak-anak. Rupanya jawaban tersebut tidaklah cukup. Universitas yang menyeleksi guru ingin para mahasiswanya memiliki niat yang tulus saat mereka ingin memulai karir sebagai guru. Akhir cerita sang keponakan mendaftar lagi pada kesempatan berikutnya dan setelah belajar dari kesalahan yang lalu, akhirnya dia diterima.

GERM yang Menginfeksi Sekolah-Sekolah Kita

Pasi Sahlberg mendapatkan kesempatan yang berharga saat dia berkeliling dunia untuk melihat sistem pendidikan di berbagai negara. Ada perbedaan yang dia rasakan dari kunjungannya tersebut.  Sistem pendidikan di berbagai negara pada umumnya sangat mirip dan bersifat seperti infeksi. Istilah untuk menggambarkan beberapa gejala kemiripan sistem pendidikan dinamainya Global Education Reform Movement/ Gerakan Reformasi Pendidikan Global. Beberapa kemiripan yang dia maksud antara lain:

1. Kompetisi
Umumnya sistem pendidikan di seluruh dunia sangat mengandalkan konsep kompetisi dalam menjalankan urat nadi pendidikannya. Setiap siswa selalu dibandingkan dengan yang lain dalam hal pencapaian akademiknya. Bahkan tidak hanya koompetisi antar siswa, antar sekolah dan guru pun patut bersaing satu sama lain. Dia menyadari bahwa orang-orang percaya sekolah dan pendidikan dapat maju dan berjalan dengan baik oleh gagasan persaingan tersebut.
Menurutnya, saat sistem pendidikan dijalankan oleh ide kompetisi, siswa, guru ataupun sekolah seolah-olah diposisikan berada dalam situasi yang membahayakan. Dia mencontohkan kisah dua remaja yang masuk hutan dan mendapati tanda peringatan adanya beruang liar. Salah satu remaja melepaskan sepatu botnya dan memakai sepatu lari. Temannya akan bilang “tapi kau tidak bisa berlari lebih cepat daripada beruang?”. Dijawab oleh rekannya: “ya aku tahu, tapi aku ingin lari lebih cepat darimu”.  Begitulah persisnya bagaimana sekolah berjalan.

2. Akuntabilitas yang tinggi
Saat kompetisi dijalankan, guru akan diharuskan mengambil data yang kuat dan akurat mengenai kemajuan masing-masing siswa dan antar siswa. Adanya pilihan dan otonomi milik guru semakin dipersempit karena adanya tuntutan untuk lulus dan meraih nilai ujian yang tinggi. Nilai ujian biasanya disyaratkan dengan mengerjakan tes terstandar seperti pilihan ganda dan esai.
Bagi pendidikan di Finlandia saat ini, pengertian akuntabilitas adalah sesuatu yang berbekas ketika responsibilitas (tanggung jawab) dilaksanakan. Mereka meyakini bahwa jauh lebih penting berbicara tentang tanggung jawab daripada akuntabilitas. Ini adalah contoh yang bagus bagi Indonesia dimana pada fakta di lapangan, ada oknum guru yang lebih mementingkan hal lain di luar kewajibannya mengajar. Bahkan dalam satu semester ada guru yang masuk kelas hanya sekali atau dua kali, sedangkan tes semester (akuntabilitas) tetap diadakan untuk mapel yang sering kosong tersebut.

3. Standarisasi Pendidikan
Banyak negara di dunia sangat mengandalkan sistem pendidikan yang melakukan standarisasi pada berbagai komponen pendidikan. Mulai dari belajar mengajar, kinerja guru, sekolah dan seterusnya. Ada target yang terkadang begitu berat yang dinamai standar. Menurut penulis, yang terjadi di lapangan, alih-alih berfokus pada kekuatan yang ada, sekolah dan orang di dalamnya dipaksa mencapai banyak standar tertentu  yang sebenarnya tidak dapat dipenuhi saat itu juga. Tidak heran jika proses seperti akreditasi di sekolah-sekolah kita dipenuhi oleh manipulasi agar memperoleh angka yang baik, karena akreditasi menjadi status bagus buruknya sekolah di mata masyarakat. Bagi siswa, menguasai lebih dari 15 mata pelajaran dengan keharusan mengerjakan tes terstandar adalah hal yang ditakuti. Tidak heran jika budaya mengambil jalan pintas dan menghindari resiko dengan cara mencontek tumbuh subur dan menjadi perilaku kolektif. Pada akhirnya, menurut Sahlberg, pendidikan akan berujung pada menyempitnya kurikulum dan pembelajaran hanya berfokus agar lulus tes.

Sebagai kesimpulannya, tiga gagasan GERM inilah yang membuat sistem sekolah terasa buruk, guru-guru meninggalkan pekerjaan mereka dan menghalangi siswa dari belajar apa yang menjadi kebutuhan mereka.

Sekolah yang Kebal dari GERM
Belajar dari Finlandia, kita dapat membangun sistem pendidikan yang kebal dari gejala Gerakan Reformasi Pendidikan Global ini dengan cara:

1.       Memperhatikan Talenta Siswa
Sekolah perlu membantu siswa agar mengerti makna imajinasi dan nilai-nilai menggunakan pikiran mereka sendiri untuk kebaikan hidup mereka sendiri. Finlandia mengajarkan agar sekolah mengidentifikasikan bakat masing-masing orang sebagai prioritasnya. Gejala yang terjadi saat standarisasi menguat di sekolah adalah berkurangnya upaya pengenalan bakat masing-masing siswanya.

2.       Penggunaan Waktu di Sekolah
Pasi seringkali mendengar menteri dan pendidik yang mengira jika saja guru punya lebih banyak waktu untuk mengajar suatu bidang maka siswa juga akan belajar mapel tersebut. Jadi menurutnya bukan soal berapa lama waktu yang digunakan guru dan siswa saat bersama, tetapi apa yang dilakukan saat ini dengan anak-anak.

3.       Peran teknologi
Era digitalisasi telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Semua orang termasuk anak-anak memililki lebih banyak teknologi canggih di saku dan tas mereka daripada di sekolah mereka. Menurut Sahlberg, semua pihak dalam pendidikan harus lebih fokus pada membantu orang lain bersama dengan kontak sosial  dan mencoba memahami jati diri mereka dengan mencoba mengintegrasikan teknologi ke sekolah-sekolah.

Sebagai penutup, Sahlberg menyarankan agar kita berhenti  menyalahkan guru dan sekolah untuk sesuatu yang berada di luar kendali dan jangkauan mereka. Itu artinya guru-guru selayaknya diberikan kesempatan dan diberdayakan dengan baik. Masa depan kita tergantung pada tindakan kita hari ini.

0 comments:

Post a Comment