Pendidikan yang bagus bukan meniru Finlandia,
tapi belajar dari Finlandia
Di Kota
Newyork tahun 2012, seorang pria berkebangsaan Finlandia mempresentasikan apa
yang menjadi pengamatannya terhadap masalah pendidikan yang mengglobal, dan
uniknya itu tidak terjadi di negaranya, Finlandia. Penulis hanya mengulas apa
yang disajikan sosok bernama Pasi Sahlberg dalam presentasinya di acara TED
Talk, dengan berbagai tambahan informasi yang menurut penulis penting untuk
diketahui. Videonya sendiri dapat dikunjungi di link https://youtu.be/TdgS--9Zg_0
Kembali ke
Finlandia. Negara ini dikenal sebagai Negara Nordik yang memiliki kualitas
pendidikan yang sangat bagus, hal itu lantaran mereka menempati posisi teratas
dalam tes internasional PISA. Bahkan sebagai catatan, masyarakat Finlandia pun
konon tidak menyangka tentang apa yang diraih mereka dalam ajang yang bergengsi
tersebut. Bergengsi yang dimaksud penulis karena mendapatkan posisi atas dalam
bidang pendidikan mengalahkan berbagai Negara di seluruh dunia adalah sesuatu
yang patut diacungi jempol. Tetapi sebagai ahli pendidikan Finlandia, Pasi
Sahlberg mengatakan bahwa mereka tidak pernah ingin menjadi nomor satu.
Menurutnya, di Finlandia mereka menerapkan prinsip itu dengan berupaya memiliki
sekolah umum yang baik untuk semua orang, semua anak-anak, sebelum mencoba
untuk mengalahkan siapapun.
Untuk
mewujudkan cita-cita sekolah bagus untuk semua, tidak salah jika Finlandia
belajar dari Negara lain, seperti Amerika. Menurut penjelasan Sahlberg, Amerika
menjadi inspirasi besar bagi negaranya, mulai dari sistem pendidikan,
institusi, dan praktisi penelitian. Meski demikian, Amerika sendiri masih
mengalami berbagai masalah pendidikan yang belum tuntas. Dengan kata lain,
contoh yang bagus dari pendidikan Amerika lah yang menjadi bahan belajar
Finlandia sehingga mampu menjadi terbaik seperti sekarang.
Mereka
terbuka untuk belajar tentang permasalahan pendidikan, mengutamakan kebijakan berbasis
riset dengan melibatkan para guru dan pihak yang terkait. Hal yang demikian
tidak banyak terjadi di Negara kita.
Menyadari
bahwa guru adalah ujung tombak pendidikan, Finlandia menempatkan kualitas guru
sebagai prioritas. Guru diseleksi dengan
ketat, memiliki digaji dengan baik, memiliki pendidikan tinggi, memiliki
otonomi di sekolahnya. Bahkan soal diseleksi dengan ketat, dari dilansir
detik.com yang saya baca, lebih mudah bagi pendaftar kuliah di Universitas
Helsinki Finlandia untuk menjadi pengacara, dokter ketimbang menjadi guru.
Menjadi guru adalah profesi terseleksi dengan baik. Dan soal otonomi? Jika di
Indonesia baru-baru ini guru diberi kebijakan atas otonomi kepada guru baik
mengenai RPP hingga evaluasi, di Finlandia hal tersebut sudah dilaksanakan.
Kisah Keponakan yang Gagal Seleksi Menjadi
Mahasiswa Pendidikan
Pasi
Sahlberg memiliki kisah menarik yang menggambarkan ketatnya pendaftaran calon
mahasiswa keguruan. Bahkan kisah ini sering ia bawa dalam berbagai presentasi
sebagai contoh mudah memahami ketatnya seleksi menjadi guru di Finlandia.
Mudah bagi
kita mengingat banyak permasalahan tentang guru di negeri kita sendiri. Mulai
dari kualitas guru itu sendiri, motivasi menjadi guru, gaji mereka (penulis
juga seorang guru), dan respek sosial yang didapat guru. Menurut penulis, apa
yang Finlandia lakukan layak untuk dipelajari.
Sebelum
mendaftar di Universitas Helsinki, Sang keponakan bertanya kepada Sahlberg
tentang apa yang harus dia lakukan. Sahlberg yang mengenal keponakannya sebagai
multitalenta dan cukup berprestasi di sekolahnya tentu saja menyuruhnya
mendaftar dengan yakin.
Tiga bulan
setelah itu sang keponakan mendatangi Sahlberg dengan mata berkaca-kaca. Karena
ia gagal masuk. Kok gagal? Ternyata dugaan kuat sang keponakan gagal di sesi
wawancara. Saat diwawancarai tentang motivasinya menjadi guru, keponakannya
hanya menjawab bahwa keluarganya kebanyakan adalah guru, dan dia suka
anak-anak. Rupanya jawaban tersebut tidaklah cukup. Universitas yang menyeleksi
guru ingin para mahasiswanya memiliki niat yang tulus saat mereka ingin memulai
karir sebagai guru. Akhir cerita sang keponakan mendaftar lagi pada kesempatan
berikutnya dan setelah belajar dari kesalahan yang lalu, akhirnya dia diterima.
GERM yang Menginfeksi Sekolah-Sekolah Kita
Pasi
Sahlberg mendapatkan kesempatan yang berharga saat dia berkeliling dunia untuk
melihat sistem pendidikan di berbagai negara. Ada perbedaan yang dia rasakan
dari kunjungannya tersebut. Sistem
pendidikan di berbagai negara pada umumnya sangat mirip dan bersifat seperti
infeksi. Istilah untuk menggambarkan beberapa gejala kemiripan sistem pendidikan
dinamainya Global Education Reform Movement/ Gerakan Reformasi
Pendidikan Global. Beberapa kemiripan yang dia maksud antara lain:
1. Kompetisi
Umumnya sistem pendidikan di seluruh dunia sangat mengandalkan konsep
kompetisi dalam menjalankan urat nadi pendidikannya. Setiap siswa selalu
dibandingkan dengan yang lain dalam hal pencapaian akademiknya. Bahkan tidak
hanya koompetisi antar siswa, antar sekolah dan guru pun patut bersaing satu
sama lain. Dia menyadari bahwa orang-orang percaya sekolah dan pendidikan dapat
maju dan berjalan dengan baik oleh gagasan persaingan tersebut.
Menurutnya, saat sistem pendidikan dijalankan oleh ide kompetisi, siswa,
guru ataupun sekolah seolah-olah diposisikan berada dalam situasi yang
membahayakan. Dia mencontohkan kisah dua remaja yang masuk hutan dan mendapati
tanda peringatan adanya beruang liar. Salah satu remaja melepaskan sepatu botnya
dan memakai sepatu lari. Temannya akan bilang “tapi kau tidak bisa berlari
lebih cepat daripada beruang?”. Dijawab oleh rekannya: “ya aku tahu, tapi aku
ingin lari lebih cepat darimu”. Begitulah
persisnya bagaimana sekolah berjalan.
2. Akuntabilitas
yang tinggi
Saat kompetisi dijalankan, guru akan diharuskan mengambil data yang kuat
dan akurat mengenai kemajuan masing-masing siswa dan antar siswa. Adanya
pilihan dan otonomi milik guru semakin dipersempit karena adanya tuntutan untuk
lulus dan meraih nilai ujian yang tinggi. Nilai ujian biasanya disyaratkan
dengan mengerjakan tes terstandar seperti pilihan ganda dan esai.
Bagi pendidikan di Finlandia saat ini, pengertian akuntabilitas adalah
sesuatu yang berbekas ketika responsibilitas (tanggung jawab) dilaksanakan.
Mereka meyakini bahwa jauh lebih penting berbicara tentang tanggung jawab
daripada akuntabilitas. Ini adalah contoh yang bagus bagi Indonesia dimana pada
fakta di lapangan, ada oknum guru yang lebih mementingkan hal lain di luar
kewajibannya mengajar. Bahkan dalam satu semester ada guru yang masuk kelas
hanya sekali atau dua kali, sedangkan tes semester (akuntabilitas) tetap
diadakan untuk mapel yang sering kosong tersebut.
3. Standarisasi
Pendidikan
Banyak negara di dunia sangat mengandalkan sistem pendidikan yang melakukan
standarisasi pada berbagai komponen pendidikan. Mulai dari belajar mengajar,
kinerja guru, sekolah dan seterusnya. Ada target yang terkadang begitu berat
yang dinamai standar. Menurut penulis, yang terjadi di lapangan, alih-alih
berfokus pada kekuatan yang ada, sekolah dan orang di dalamnya dipaksa mencapai
banyak standar tertentu yang sebenarnya
tidak dapat dipenuhi saat itu juga. Tidak heran jika proses seperti akreditasi
di sekolah-sekolah kita dipenuhi oleh manipulasi agar memperoleh angka yang
baik, karena akreditasi menjadi status bagus buruknya sekolah di mata
masyarakat. Bagi siswa, menguasai lebih dari 15 mata pelajaran dengan keharusan
mengerjakan tes terstandar adalah hal yang ditakuti. Tidak heran jika budaya
mengambil jalan pintas dan menghindari resiko dengan cara mencontek tumbuh
subur dan menjadi perilaku kolektif. Pada akhirnya, menurut Sahlberg,
pendidikan akan berujung pada menyempitnya kurikulum dan pembelajaran hanya berfokus
agar lulus tes.
Sebagai kesimpulannya, tiga gagasan GERM inilah yang membuat sistem
sekolah terasa buruk, guru-guru meninggalkan pekerjaan mereka dan menghalangi
siswa dari belajar apa yang menjadi kebutuhan mereka.
Sekolah yang Kebal dari GERM
Belajar dari Finlandia, kita dapat membangun sistem pendidikan yang
kebal dari gejala Gerakan Reformasi Pendidikan Global ini dengan cara:
1. Memperhatikan Talenta
Siswa
Sekolah perlu membantu
siswa agar mengerti makna imajinasi dan nilai-nilai menggunakan pikiran mereka
sendiri untuk kebaikan hidup mereka sendiri. Finlandia mengajarkan agar sekolah
mengidentifikasikan bakat masing-masing orang sebagai prioritasnya. Gejala yang
terjadi saat standarisasi menguat di sekolah adalah berkurangnya upaya pengenalan
bakat masing-masing siswanya.
2. Penggunaan
Waktu di Sekolah
Pasi seringkali mendengar
menteri dan pendidik yang mengira jika saja guru punya lebih banyak waktu untuk
mengajar suatu bidang maka siswa juga akan belajar mapel tersebut. Jadi
menurutnya bukan soal berapa lama waktu yang digunakan guru dan siswa saat
bersama, tetapi apa yang dilakukan saat ini dengan anak-anak.
3. Peran teknologi
Era digitalisasi telah
membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Semua orang termasuk anak-anak
memililki lebih banyak teknologi canggih di saku dan tas mereka daripada di
sekolah mereka. Menurut Sahlberg, semua pihak dalam pendidikan harus lebih fokus
pada membantu orang lain bersama dengan kontak sosial dan mencoba memahami jati diri mereka dengan
mencoba mengintegrasikan teknologi ke sekolah-sekolah.
Sebagai penutup, Sahlberg
menyarankan agar kita berhenti
menyalahkan guru dan sekolah untuk sesuatu yang berada di luar kendali
dan jangkauan mereka. Itu artinya guru-guru selayaknya diberikan kesempatan dan
diberdayakan dengan baik. Masa depan kita tergantung pada tindakan kita hari
ini.
0 comments:
Post a Comment